tag:blogger.com,1999:blog-61573234574029610102024-03-14T15:06:29.728+09:00TABEA...PAPUA........Jemari Menari Kreatifitas Tanpa Batas
Jalanan bukan sandaran, Jalanan bukan pelarian, jalanan adalah kehidupan.
Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataanUnknownnoreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-81058034707789919402010-05-27T03:43:00.000+09:002010-05-27T03:43:16.939+09:00Festival Seni Asmat: Selamatkan Budaya Papua<span class="fullpost"> </span>JUBI --- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Asmat akan menyelenggarakan festival seni dalam rangka pelestarian budaya Kabupaten Asmat. <br />
<br />
Peserta yang terlibat dalam kegiatan tersebut berasal dari anak sekolah tingkat SMP, SMU hingga sanggar seni di wilayah Asmat. <br />
<br />
Sekertaris Dinas Kebudayaan dan Parawisata Kabupaten Asmat, Donatus Tamot menuturkan, festival seni itu akan diselenggarakan tanggal 27-29 Mei mendatang. “Kami harap Gubernur Papua turun ke daerah dalam pembukaan acara festival ini,” ungkapnya, Selasa (18/5) di ruang kerjanya, Agats.<br />
<br />
Sementara itu pendaftaran para peserta festival seni sedang berjalan hingga 22 Mei mendatang bertempat di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Asmat pada setiap hari jam kerja.<br />
<br />
Berbagai perlombaan akan digelar di sini. Seperti tari kreasi, musik rakyat, tari balada Cendrawasih, drama, lomba ukir tingkat SMP, serta lomba karya ilmiah dengan judul ‘Pentingnya Sagu Bagi Orang Asmat’.<br />
<br />
“Festival kali ini adalah yang kedua kali, sebelumnya pada tahun 2009 kemarin,” ujarnya. Katanya kegiatan festival seni itu difokuskan kepada kelompok anak muda sebagai harapan masa depan Asmat. “Jadi festival seni ini berbeda dengan festival budaya,” tambahnya.<br />
<br />
Dikatakan Tamot, festival seni ini dilakukan sebenarnya memperingati moment Ulang Tahun Kabupaten Asmat, yaitu tiap tahun dalam bulan Mei. <br />
<br />
Direncanakan ajang festival bertemakan ‘Selamatkan Lingkungan Hidup Untuk Kebudayaan Papua’ itu dihadiri oleh gubernur Papua, Barnabas Suebu. Melalui kreativitas seni ini diharapkan agar mampu mewujudkan martabat orang Asmat dan Papua umumnya, agar berkontribusi menyelamatkan budaya sebagai sumber hidup orang Papua.<i> (Willem Bobi)</i><br />
<i><br />
</i><br />
<span class="fullpost">Sumber: http://tabloidjubi.com </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-37483620248253271672010-05-01T18:17:00.000+09:002010-05-01T18:17:18.940+09:00Museum Loka Budaya<div class="snap_preview"><div align="justify"> Museum Loka Budaya sudah ada sejak 1970 tetapi baru diresmikan pada 1973. Pada awalnya Museum Loka Budaya berada di bawah Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih. Dengan SK Rektor tanggal 4 Juli 1990 Museum Loka Budaya dijadikan UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang berada di bawah pengawasan Rektor Universitas Cenderawasih.<br />
<span id="more-426"></span><br />
Visi museum adalah menjadikan UPT ini sebagai pusat informasi kebudayaan material Suku Bangsa Papua. Sementara misi museum adalah meningkatkan kepekaan dan kepedulian terhadap budaya Papua melalui kebudayaan materi sebagai salah satu jatidiri masyarakat.<br />
<strong><br />
KOLEKSI<br />
</strong><br />
Museum Loka Budaya menyimpan koleksi berjumlah 2.000, terdiri atas benda-benda etnografi suku bangsa yang berada di Papua.<br />
<strong><br />
ALAMAT<br />
</strong><br />
Jalan Raya Abepura – Sentani,<br />
Kelurahan Hedam, Kecamatan Abepura,<br />
Kabupaten Jayapura, Papua<br />
<strong><br />
JAM KUNJUNG<br />
</strong><br />
Senin – Jumat: 08.00 – 15.00<br />
Sabtu: 08.00 – 14.00<br />
Minggu: Tutup<br />
<strong><br />
KARCIS MASUK<br />
</strong><br />
Gratis<br />
</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-47942834112046857902010-04-20T19:05:00.001+09:002010-04-20T19:10:38.854+09:00Tablanusu dan Festival Danau Sentani 2010Di sana pulauku yang kupuja selalu<br /><br />Tanah Papua pulau indah<br /><br />Hutan dan lautmu membisu selalu<br /><br />Cenderawasih burung emas.<br /><br />Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri<br /><br />Yang ku puja selalu keindahan alammu yang mempesona<br /><br />Sungaimu yang deras mengalirkan emas<br /><br />Oh, ya Tuhan terima kasih.<br /><br />Lagu “Tanah Papua” gubahan almarhum Arnold Clemens Ap, Pimpinan Grup Mambesak Museum dan Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, menggambarkan begitu agungnya Tanah Papua, nikmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Identitas diri dari negeri yang kaya dan dekat dengan alam. <span class="fullpost"><br /><br />Berkunjung ke ujung timur Indonesia itu, bumi Papua, sekarang bukan lagi hal yang meragukan atau membingungkan oleh kurangnya informasi. Karena sekarang pemerintah daerah Papua telah berbenah diri dan menyadari potensi keindahan wisata yang dimilikinya.<br /><br />Kini telah hadir Kampung Wisata Tablanusu. Dari Bandar Udara Sentani hanya berjarak 45 km dan Kampung Tablanusu dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan darat ke Depapre dan 10 menit naik perahu.<br /><br />Sepanjang jalan kita akan melintasi tempat bersejarah yaitu pelabuhan pendaratan tentara sekutu Amerika Serikat pada perang Dunia ke II. Kita bisa melihat sisa-sisa peninggalan tentara sekutu karena kampung ini pernah menjadi salah satu basis tentara sekutu di kawasan timur Indonesia. Landasan meriam dan dermaga bekas pendaratan tentara sekutu adalah di antara sisa-sisa Perang Dunia II yang masih dapat dijumpai di sini. Ini salah satu bukti sejarah yang menyempurnakan Kampung Tablanusu menjadi daerah yang sangat berpotensi untuk menjadi “Desa Wisata.”<br /><br />Tablanusu adalah sebuah Kampung di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Terletak di pinggiran pantai, mempunyai pesona alam yang sangat indah. Di sepanjang pantai dan kampung Tablanusu terdapat “batu alam hitam” yang menjadi kelebihan Tablanusu dari kampung lain di Papua. Tablanusu berasal dari kata “Tepuaonusu” yang memiliki arti: Tepera adalah nama sebuah suku dan Onusu artinya Turunnya Matahari (sunset).<br /><br />Selain Batu Alam Hitam, Tablanusu juga mempunyai dua buah pulau kecil tidak berpenghuni, menurut cerita konon pulau ini timbul dari akibat terjadinya Tsunami. Pulau yang ditempuh dengan berperahu hanya beberapa menit saja ini, ditumbuhi tanaman Anggrek yang menjadi khas Papua. Pulau tersebut juga menjadi persinggahan dari berbagai macam jenis burung. Burung-burung itu hinggap berjejer di ranting pepohonan dan membentuk sebuah pemandangan yang indah menjelang matahari terbenam.<br /><br />Hamparan pantai Tablanusu bagaikan sebuah teluk kecil sehingga sejauh mata memandang akan melihat keindahan kampung. Dengan luas 230,5 hektar, kampung Tablanusu memiliki populasi penduduk 402 orang yang terdiri dari 230 orang pria dan 172 orang wanita oleh 10 suku.<br /><br />Di pantai dengan laut yang bening dan tenang mampu memuaskan wisatawan yang ingin berenang atau menyelam. Ketika menyelam, wisatawan dapat melihat kekayaan bawah lautnya, seperti terumbu karang yang masih terjaga kelestariannya dan aneka jenis ikan yang berenang secara bergerombolan. Bila beruntung, di sini wisatawan dapat melihat ikan hiu.<br /><br />Bagi yang berhasrat mencari ikan bersama nelayan di daerah ini, datanglah ke Pantai Tablanusu pada malam hari. Sebagaimana nelayan pada umumnya, nelayan di sini juga pergi melaut pada malam hari, terutama pada saat langit gelap. Sebab, pada waktu itulah ikan lebih mudah ditangkap. Selain mengandalkan kail dan tombak, nelayan di kawasan ini kerap pula mencari ikan dengan cara menyelam hingga ke dasar laut ditemani cahaya senter.<br /><br />Festival Danau Sentani 2010<br /><br />Danau Sentani berada 70-90 m di atas permukaan laut. Terletak juga di antara pegunungan Cyclops. Merupakan danau Vulkanik. Sumber airnya berasal dari 14 sungai besar dan kecil dengan satu muara sungai, Jaifuri Puay. Di wilayah barat, Doyo lama dan Boroway, kedalaman danau sangat curam. Sedangkan sebelah timur dan tengah, landai dan dangkal, Puay dan Simporo. Disini juga terdapat hutan rawa di daerah Simporo dan Yoka. Dalam beberapa catatan disebutkan, dasar perairannya berisikan substrat lumpur berpasir (humus). Pada perairan yang dangkal, ditumbuhi tanaman pandan dan sagu. Luasnya sekitar 9.360 Ha dengan kedalaman rata rata 24,3 meter. Di sekitaran danau ini terdapat 24 kampung.<br /><br />Kota Sentani yang terletak di Kabupaten Jayapura menyimpan banyak sekali keindahan alam, agar nilai-nilai adat dan budaya, seni suku-suku di sekitar kawasan Danau Sentani tidak ikut memudar di makan zaman, festival Seni Budaya Sentani dianggap perlu diselenggarakan.<br /><br />Festival Budaya Danau Sentani 2010 akan diselenggarakan pada tanggal 19-23 Juni 2010 di Kawasan Wisata Kalkote danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Event Ini merupakan festival budaya dari beberapa kampung (Ondoafi) di sekitar Danau Sentani dan beberapa Kabupaten di Papua sebagai salah satu dari upaya Kabupaten Jayapura untuk mendukung Program Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia.<br /><br />Festival Danau Sentani 2010 ini dimaksudkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya sebagai aset unik dari Ondoafi dan dijadikan satu paket wisata yang dapat dinikmati oleh para wisatawan domestik dan asing. Pada festival ini akan ditampilkan budaya yang sangat unik sebagai warisan dari nenek moyang (Ondoafi atau Ondofolo) antara lain seperti Tari Perang di atas perahu dan tarian-tarian tradisional lainnya dari berbagai suku yang ada di Kabupaten Jayapura ditambah lagi dengan budaya dari daerah-daerah lain di Papua dan juga daerah lainnya di Indonesia yang mempunyai ciri hampir sama dengan Danau Sentani seperti masyarakat di sekitar Danau Toba di Sumut, Danau Mindanao di Sulawesi Utara, Danau Tempe di Sulsel dan sebagainya.<br /><br />Konsultan Pariwisata Jayapura, Mian Simanjutak mengatakan hal itu kepada Antara, Senin (1/2/2010) bersama dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae. Menurut Mian, festival yang akan menampilkan berbagai budaya yang ada di Jayapura itu memang bertujuan untuk menjadikan daerah itu sebagai salah satu tujuan wisata. “Di saat Jayapura menjadi tujuan wisata nantinya, maka masyarakat sudah siap menerimanya sehingga bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat,” ujarnya.<br /><br />Ia mengatakan, sebagian masyarakat belum siap menerima kedatangan wisatawan sehingga masih dibutuhkan waktu lagi untuk menyadarkannya akan pentingnya wisata. “Jangan sampai nantinya masyarakat hanya akan menjadi penonton saat wisatawan asing datang. Jika itu yang terjadi maka masyarakat justru melakukan tindakan negatif, misalnya merusak obyek wisata,” ujarnya.<br /><br />Sementara Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae menambahkan, salah satu atraksi budaya yang pernah ditampilkan di festival itu (tahun 2008 dan 2009) adalah menari di atas perahu sebagai bagian dari budaya adat Sentani. Menari di atas perahu itu membutuhkan kemampuan khusus sebab bisa menyebabkan perahu oleng dan tercebur ke air. Menari di atas perahu itu biasanya dilakukan saat warga membawa kayu yang akan dipakai untuk membuat rumah pertemuan adat.<br /><br />Selain itu, ada atraksi merokok di atas air yang dilakukan oleh wanita yang tinggal di sekitar Danau Sentani. Kegiatan merokok itu dilakukan untuk melawan rasa dingin saat mereka menyelam danau untuk menangkap ikan.<br /><br />“Sebelum masuk ke danau, wanita itu merokok lalu bagian apinya dimasukkan ke dalam mulut. Dengan api rokok dalam mulut mereka masuk ke dalam danau untuk menangkap ikan,” katanya.<br /><br />Ketua Panitia FDS 2010, Ir. Anna Saway mengatakan FDS kali ini akan menampilkan 3 konsep seperti pagelaran, pameran dan tour. Selain itu, Festival Budaya yang berbasis masyarakat, karena masyarakat yang akan berperan didalamnya, dengan menampilkan hasil kerajinan maupun kuliner khas Papua.<br /><br />Ada pun beberapa rincian kegiatannya adalah tarian kolosal Papua, lomba budaya, lomba olahraga air, gema tifa kolosal, promosi dan pameran potensi ekonomi, kuliner khas Papua dan nusantara, kerajinan rakyat Papua, pesona anggrek dan tanaman hias khas Papua, field trip keliling danau Sentani, field trip kampung wisata laut Tablanusu, seremoni tugu sejarah perang dunia II Jepang di Genyem, pesona kembang api di atas Danau Sentani.<br /><br />Perlombaan seni budaya dan olah raga air antara lain lomba perahu hias, lomba ukir, lukis dan disain rumah adat, lomba anyam rambut dan tattoo tradisional, pidato berbahasa daerah, lomba dayung, selam dan renang di Danau Sentani.<br /><br />Pagelaran seni budaya menggelar antara lain berbagai tarian tradisional dan sendra tari “kaping-kaping rahasia awal Danau Sentani” di pelataran atau di atas perahu oleh masyarakat adat dengan ritme keunikan masing-masing dan penampilan secara kolosal diiringi musik rakyat, suling, tambur dan lagu rakyat dengan aneka permainan rakyat termasuk tarian nusantara yang ditampilkan selama 5 hari penuh.<br /><br />Sebagai tema yang dipakai kali ini adalah Loving Culture For Our Future. Cinta Budaya Untuk Masa Depan kita yang dimotivasi oleh kecintaan terhadap keberadaan manusia melalui penguatan karakter budaya sebagai bagian hidup. Semoga acara berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae agar kiranya acara ini untuk kepuasan semua pihak dan kekerabatan sesama kita, serta kekerabatan kita dengan alam. (Edi Santana Sembiring)<br /><br />Sumber: Kompas<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-65618256498378660562010-04-08T18:27:00.002+09:002010-04-20T19:04:42.351+09:00Masyarakat Berperan Sebagai Sumber Informasi ArkeologiJAYAPURA, KOMPAS.com--Masyarakat, terutama para tokoh adat memiliki peran cukup besar sebagai sumber informasi mengenai keberadaan peninggalan arkeologi yang terdapat di seluruh daerah di wilayah Papua.<span class="fullpost"><br /><br />"Balai Arkeologi Jayapura sejauh ini telah mendata potensi sumber daya arkeologi yang ada di wilayah kerja Papua dan Papua Barat, tapi jumlah ini masih sedikit dibandingkan kenyataan yang sebenarnya di lapangan," kata Kepala Balai Arkeologi Jayapura, M Irfan Mahmud MSi di Jayapura, Rabu.<br /><br />Dia mengatakan, pihaknya sangat berharap masyarakat bisa memberikan informasi mengenai keberadaan potensi arkeologi di daerah karena sangat membantu pekerjaan penelitian dan pengembangan peninggalan sejarah tersebut.<br /><br />Oleh sebab itu, menurut Irfan, Balai Arkeologi Jayapura senantiasa menjalin kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan dalam hal pengelolaan situs-situs bersejarah. Misalnya dengan perguruan tinggi, tokoh adat, tokoh masyarakat serta pemerintah daerah.<br /><br />"Dengan kemitraan ini, penelitian, pengembangan dan pengelolaan peninggalan arkeologi di seluruh wilayah Papua bisa berjalan baik sehingga bisa memberi kontribusi bagi pembangunan daerah," ujarnya.<br /><br />Selama 14 tahun usianya, Balai Arkeologi Jayapura telah menjangkau 25 situs dari 89 situs yang telah terdata dengan rata-rata penelitian dua kegiatan setiap tahun.<br /><br />Irfan mengatakan, untuk mengoptimalkan tugas penelitian arkeologi di Papua, Balai Arkeologi Jayapura membagi enam daerah penelitian yang menjangkau seluruh wilayah kerja yang meliputi Papua dan Papua Barat.<br /><br />Keenam wilayah penelitian tersebut terdiri dari kawasan Kepala Burung yang meliputi Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat dan Manokwari.<br /><br />Berikutnya adalah kawasan Teluk Bintuni, terdiri dari Kabupaten Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kaimana dan Fakfak dan kawasan Teluk Cenderawasih yang meliputi Kabupaten Waropen, Yapen, Paniai, Nabire, Biak Numfor dan Supiori.<br /><br />Sementara itu, kawasan Pegunungan Tengah mencakup Kabupaten Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo, Puncak Jaya dan Mimika.<br /><br />Adapun di kawasan Budaya Selatan, kabupaten yang menjadi fokus penelitian Balai Arkeologi Jayapura adalah Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat.<br /><br />Sedangkan Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi dan Mamberamo Raya termasuk daerah penelitian di Kawasan Pantai Utara atau Budaya Tabi.<br /><br />Sumber: Kompas<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-65098337501821934122010-03-09T23:43:00.004+09:002010-04-28T16:21:14.176+09:00Pelestarian sumber daya budaya PapuaJayapura, - Pelestarian sumber daya budaya Papua harus menjadi salah satu prioritas pembangunan daerah sehingga dapat menunjang sektor lainnya seperti ekonomi, pendidikan dan sosial budaya.<span class="fullpost"><br /><br />"Selama ini pelestarian sumber daya budaya Papua belum menjadi prioritas pembangunan daerah. Bahkan, sering kali hanya dijadikan alat politik praktis kelompok tertentu," kata Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto di Jayapura, Minggu.<br /><br />Dia mengatakan, pelestarian sumberdaya budaya sesuai dengan amanat Undang undang nomor 21 tahun 2009 tentang Otonomi Khusus Papua yang menegaskan bahwa kebudayaan Papua adalah urat nadi dalam memahami dan mengembangkan masyarakat.<br /><br />"Artinya, segala sumberdaya yang ada dikerahkan dalam kerangka memahami identitas masyarakat Papua," ujar Hari.<br /><br />Menurut dia, pembangunan kebudayaan Papua penting untuk melestarikan kebudayaan masyarakat setempat sehingga semakin mengukuhkan jati diri dan identitas orang Papua, walaupun berada dalam kondisi peradaban yang maju dan modern.<br /><br />Selanjutnya dia mengatakan, pembangunan kebudayaan di Papua juga bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena ikut menunjang sektor pariwisata yang bisa memberikan dampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.<br /><br />"Pariwisata bisa membuka berbagai lapangan kerja seperti perhotelan, bisnis kuliner, transportasi sehingga setiap kunjungan wisatawan bisa memberi pemasukan bagi daerah," kata Hari.<br /><br />Selain itu, pelestarian kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan.<br /><br />"Penghargaan terhadap budaya ini akan menumbuh kembangkan kreativitas dan aktivitas serta kualitas karya budaya masyarakat yang unik dan menarik perhatian wisatawan," ujar Hari.<br /><br />Papua yang memiliki lebih dari 250 etnik telah beberapa kali menggelar kegiatan kebudayaan yang menampilkan keragaman budaya masyarakat baik berupa pertunjukan seni, praktik sosial, ritual serta kerajinan sosial.<br /><br />Pada 2009 lalu, Pemerintah Kota Jayapura menggelar Festival Budaya Teluk Humbold yang menyuguhkan tradisi masyarakat setempat.<br /><br />Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Jayapura juga memiliki kegiatan budaya tahunan yakni Festival Danau Sentani (FDS) yang menjadi festival budaya dari berbagai kampung di sekitar danau tersebut dan beberapa kabupaten di Papua.<br /><br />Adapun masyarakat di Kabupaten Jayawijaya, setiap tahun menggelar Festival Lembah Baliem yang cukup menarik perhatian wisatawan manca negara.<br /><br />sumber: arkeologi.web.id <br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-64387605614575418742009-10-30T23:58:00.005+09:002010-04-20T19:03:25.110+09:00Sistem PertanianWamena adalah ibukota Kabupaten Jayawijaya yang terletak di lembah baliem didominasi suku Dani. Lembah Baliem merupakan lembah daerah datarin tinggi (1500-2000 m dpl). Ubi jalar yang lebih dikenal namanya hipere merupakan makanan pokok penduduk asli suku Dani. Teknik dan cara budidaya usahatani hipere mereka lakukan secara tradisional dan sudah dilakukan secara turun temurun. <span class="fullpost"><br /><br />Petani suku Dani menanam ubi jalar pada tumpukan-tumpukan tanah berbentuk guludan tunggal yang lebih dikenal dengan cuming. Di atas cuming ditanam satu stek ubi jalar. Varietas yang ditanam petani umumnya adalah varietas lokal (helaleke), disamping itu petani sudah mengadopsi varietas Papua Salossa, Papua Patippi dan Cangkuang. Varietas ini merupakan hasil kerjasama Balitkabi, BPTP Papua dan ACIAR.<br /><br />Pembagian kerja dalam pengelolaan usahatani ubi jalar cukup jelas. Mengolah tanah dilakukan oleh pria, sedangkan wanita melakukan penanaman, pemanenan, menjual serta memasak. Kaum pria mengolah lahan dengan menggunakan peralatan skop, parang, garpu dan linggis. Petani tidak menggunakan pacul.<br /><br />Kondisi alam yang berbukit-bukit dan bergelombang menyebabkan sebagian lahan pertanaman ubi jalar ditanam di lereng-lereng perbukitan. Petani membuat lahan tegak lurus kontur, tidak searah kontur (Lihat gabar di bawah ini). Petani beralasan ubi jalar yang ditanam pada lahan tegak lurus kontur memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan ubi jalar yang ditanam pada lahan searah kontur.<br /> <br />Menurut petani suku Dani, ubi jalar yang ditanam pada lahan searah kontur akan menyebabkan air tertahan pada bedengan sehingga menyebabkan ubi jalar kurang manis dan mereka tidak menyukai rasanya. Dalam menyikapi hal ini, BPTP Papua telah melakukan sosialisasi tentang pembuatan lahan searah kontur untuk mengurang laju erosi. Bagaimanapun sosialisasi tersebut terhambat karena sulit untuk merubah kebudayaan lokal yang sudah diterapkan selama turun-temurun. Masih dibutuhkan waktu lagi untuk memberikan pemahaman kepada petani tentang bahaya erosi pada lahan yang berada di lerang bukit.<br /><br />Dalam pengolahan lahan, petani telah menerapkan prinsip-prinsip LEISA (low external input suistenable agriculture). Petani tidak menggunakan pupuk an organik seperti merek dagang Urea, SP-36 dan KCl dan tidak menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama penyakit. Kebijakan Pemerindah daerah Kabupaten Jayawijaya tentang pelarangan penggunaan pupuk an organik dan pestisida perlu didukung untuk menjadikan daerah ini sebagai kawasan “organik” .<br /><br />Untuk mengurangi resiko kegagalan panen serta meningkatkan ketahanan pangan di daerah ini, BPTP Papua mengintroduksi pertanaman multikultur serta tumpangsari. Salah satu tempat introduksi tersebut adalah pada kelompok tani wanima-2 di kampung Wanima, distrik Hubikosi.<br /><br />BPTP Papua mulai memperkenalkan tanaman lain selain ubi jalar seperti kentang yang bibitnya diperoleh dari hasil kultur jaringan Balitsa, jagung dan kedelai. Semua tanaman tersebut dibudidayakan secara organik. juga sudah mulai diperkenalkan sistem tanaman secara tumpang sari. Kegiatan introduksi ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan penduduk lokal serta memberikan alternatif bahan pangan.<br /><br />Dalam cara pengolahan tanah BPTP Papua juga memperkenalkan sistem bedengan. Dengan penerapan bedengan ini tentu diharapkan hasil panen yang maksimal. Struktur tanah di wamena cenderung liat. Kondisi ini menyebabkan tanah cepat banjir ketika hujan dan cepat kering ketika tidak mendapat hujan. Tidak ada sistem irigasi, kebun mengandalkan sistem tadah hujan. Hasil olahan tanah menggunakan sekop dan garpu berupa bongkahan-bongkahan tanah.<br /><br />Panen dilakukan oleh kaum wanita. mereka menggunakan linggis atau kayu untuk mencari-cari ubi yang siap panen di dalam tumpukan tanah. Setelah menemukan ubi jalar yang siap di panen, tanah dibuka untuk mengambil ubi tersebut. Setelah ubi dikeluarkan dari tanah lalu tanah ditimbun kembali. Cara ini merupakan salah satu penyimpanan ubi jlar segar buntuk ketahanan pangan keluarga. Ubi-ubi tersebut dikumpulkan ke dalam noken, yaitu semacam tas khas lokal yang digantungkan dikepala. Kaum wanita akan membawa ubi jalar dalam noken tersebut ke rumah untuk di makan anggota keluarga.<br /><br />Cara masyarakat mengolah ubi jalar secara turun-temurun adalah dengan bakar batu. Batu di bakar menggunakan kayu api. Setelah panas, batu diangkat menggunakan penjepit dari kayu dan dimasukan ke dalam lubang yang telah dipersiapkan di tanah. Lalu di atas batu ditumpuk ubi jalar, sayuran dan babi serta ditutup lagi dengan batu dan dedaunan. Terkadang pada bakar batu hanya berisi ubi jalar saja, tidak dengan sayur atau babi. Setelah matang, tumpukan dibuka dan ubi jalar tersebut dibagi secara merata kepada anggota keluarga atau kelompok.<br /><br />Setiap budaya memiliki caranya masing-masing untuk hidup. Kita tidak bisa mengatakan suatu budaya itu baik atau buruk. Jika pihak lain memaksakan kebudayaannya maka akan terjadi benturan kebudayaan yang kadang berakibat fatal. Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai kebudayaan ubi jalar di daerah lembah baliem tersebut agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat bekerjasama untuk menyelesaikan masalah kerawanan pangan di daerah ini (Adnan dan Afrizal Malik).<br /><br />Sumber: http://papua.litbang.deptan.go.id<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-5079295382437709562009-09-17T18:39:00.003+09:002010-04-09T23:28:14.701+09:00Papua TV membuka lowongan KerjaTabea...............<br /><br />Family smua, saat ini Papua TV membuka lowongan bagi mereka yang tertarik bekerja di dunia pertelevisian.<br /><br />Lowongan yang di buka:<br /><br />1. Reporter dan Presenter<br />2. Cameraman<br />3. On Air Crew<br />4. Mechanical Electronical<br />5. Program Director Berita<br />6. Audioman/women<br />7. Swicher<br />8. Lighting<br />9. Camstore<br />10. Desain Grafis<br />11. Staf Marketing<br />12. Marketing<br />13. Staf Umum<br /><br /><span class="fullpost"><br />Persyaratan:<br /><br />1. Daftar Riwayat Hidup<br />2. Salinan ijazah terakhir yang di legalisir<br />3. Salinan KTP dan KK<br />4. Surat keterangan catatan polisi<br />5. Pas foto ukuran 4 X 6 (3 lembar)<br />6. Surat pengalaman kerja bagi yang sudah berpengalaman<br />7. Surat pernyataan bukan sebagai pengurus partai politik<br />8. Bagi pelamar wanita harus ada ijin tertulis dari orang tua/wali atau suami dan tidak dalam keadaan hamil<br /><br />usia minimal 18 thn dam maksimal 30 thn<br /><br />batas terakhir lamaran masuk tanggal 3 oktober 2009<br /><br />Trimaksih........<br />TABEA MUFA...............<br /><br />Lamaran di tujukan kepada:<br /><br />DIREKTUR UTAMA<br />Cq. HRD<br />PT. TELEVISI MANDIRI PAPUA<br />GEDUNG BANK PAPUA Lt. VI<br />Jl. Ahmad Yani no. 7 Jayapura<br />Telp/Fax: 0967-522666/522019<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-78985885321300966602009-08-25T15:51:00.002+09:002010-04-20T19:02:47.616+09:00Peta BudayaJAKARTA (Media): Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dalam waktu dekat akan mengeluarkan peta budaya. Peta itu akan berisikan data-data benda dan penemuan budaya dari seluruh Indonesia.<span class="fullpost"><br /><br />"Nantinya, jika data sudah terkumpul, kita akan daftarkan patennya di HAKI Depkum dan HAM (Hak atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia). Sehingga tidak akan terjadi lagi benda atau penemuan budaya milik kita diklaim dan dipatenkan oleh negara lain," ungkap Direktur Jenderal NBSF Depbudpar Sri Hastanto kepada Media Indonesia di sela jumpa pers akhir tahun departemen tersebut di Jakarta, kemarin.<br /><br />Hastanto mengakui selama ini memang makin sering terjadi benda atau penemuan budaya Indonesia yang dipatenkan pihak asing. "Ya angklung, batik, kunyit, dan lainnya. Bahkan lagu Burung Kakatua dan Soleram kabarnya akan dipatenkan oleh Brunei karena kita tidak tahu siapa penciptanya, hanya disebut NN (no name)," ungkapnya.<br /><br />Beberapa seni pertunjukan dan kesenian juga rentan diklaim negara lain jika tidak segera dipatenkan. Salah satu contoh adalah seni penjor Bali, yang gampang sekali ditiru. "Tetapi kita sudah data dan akan segera kita daftarkan di HAKI," ia menandaskan.<br /><br />Karena itu, peta budaya yang berisikan data-data benda dan penemuan budaya Indonesia amat diperlukan untuk menghindari klaim pihak asing. "Saat ini kita sudah memulai mengadakan penelitian untuk mendapatkan data benda-benda dan penemuan budaya milik Indonesia yang belum dipatenkan," ungkap guru besar di Institut Seni Indonesia itu.<br /><br />Nantinya, lanjut Hastanto, data-data tadi akan diinventarisasi dan akan didaftarkan di HAKI. "Kita juga akan membuka website sehingga pendataan bisa online terus-menerus. Kita tentu berharap bantuan dari pihak-pihak terkait lain yang berkepentingan. Kalau kita mendata sendiri, tentu akan kewalahan," ujarnya. Ia pun menambahkan, pada pertengahan 2007 pendataan dan pematenan akan selesai.<br /><br />Hastanto mengungkapkan saat ini pendataan difokuskan pada pulau-pulau terluar seperti Talaud, Natuna, dan Merauke. Pasalnya, banyak benda-benda dan penemuan budaya Indonesia berada di sana. "Benda-benda dan penemuan budaya yang berasal dari pulau terluar lebih mudah diklaim oleh negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, atau Brunei," ujarnya.<br /><br />Dirjen mengungkapkan sebenarnya sejak 2004 pihaknya sudah menyerukan pendaftaran karya atau temuan budaya ke HAKI. "Tetapi masih banyak yang ogah-ogahan. Nah, ketika dipatenkan negara lain, baru ribut," ujarnya.<br /><br />Karena itu, ia mengharap kesadaran untuk mematenkan benda atau penemuan budaya harus ditumbuhkan sejak sekarang untuk menghindari klaim negara lain atas benda atau penemuan budaya. (Eri/H-2).<br /><br />Sumber: Media Indonesia, Jumat, 29 Desember 2006<br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-44405425991590200042009-08-25T13:19:00.002+09:002009-08-25T13:23:16.757+09:00Jayapura 360.000 Detikby Appetite Journey<br /><br />Pantai, budaya, dan sejarah yang kaya membuat tempat ini begitu terlalu menawan untuk dilewatkan, disamping makanannya juga. Dan ini bukan script acara berita di televisi yang cuma 60 detik, tapi 360.000 detik perjalanan di Jayapura.<br /><span class="fullpost"><br />Kendaraan kami meluncur ke Swiss-belhotel, yang terletak di Dok Dua. Hotel ini terletak tepat di tepi pantai yang tenang, bahkan jika mau kita dapat memancing di sini. Dari restorannya kita dapat melepaskan pandangan kita ke arah teluk yang tenang, di sana ada dua pulau yang ditinggali oleh orang Kayu Pulo dan satu lagi didiami oleh orang Buton. Jangan kaget kalau tiba-tiba kita mendengar suara "klakson" kapal membelah udara atau tiba-tiba bertemu dengan kapal yang lewat di depan mata, karena di seberang hotel ini adalah pelabuhan. Antara Shanghai dan Hongkong<br /><br />Matahari sudah kembali ke peraduannya di ufuk barat, akan tetapi malam masih panjang. Kami pun terperangkap dalam di dalam dilematis, antara makan malam dahulu baru jalan-jalan kemudian atau sebaliknya. Karena perut masih bisa diajak kompromi, kami memutuskan untuk jalan-jalan di seputar kota ini. Setelah berputar-putar di kota, guide membawa kami ke Jalan Bhayangkara. Tempat ini merupakan dataran tingginya Jayapura dan dari sini kita dapat melihat ke arah kota dan teluk di waktu malam.<br /><br />Terkejut, terpana, dan kagum. Ya, seperti itulah kira-kira perasaan kami kalau boleh di rangkum dalam kata-kata. Dari titik ini kita dapat melihat bibir pantai yang membujur memberi batas antara laut dan darat. Lampu-lampu kota yang nampak seperti kunang-kunang dan perairan yang tenang memantulkan mereka dengan jelas. Langit malam yang cerah juga tidak mau kalah, dia memamerkan bintang-bintang yang bertaburan dan berkelip dengan malu-malu.<br /><br />Rupanya perut sudah tidak dapat dinego lagi. Kali ini makan adalah harga mati untuk kami. Sebelum sampai di kota ini, ada sedikit kekhawatiran akan makanan seperti apa yang dapat kami temukan di sini dan ditambah gosip makanan di sini mahal-mahal, walaupun itu kelas kaki lima. Tetapi semuanya sirna ketika kami datang dan membuktikan sendiri kebenarannya.<br /><br />Makan malam pertama di Papua, dimulai di sebuah warung tenda yang kurang lebih berada 500 meter dari Swiss-belhotel, Cirita Café. Makanan yang disediakan adalah seafood segar dan masakan Manado. Kami memesan ikan kakap merah, mubara, dan baronang bakar dan seporsi kangkung cah bunga pepaya. Sebagai teman makan ikan, kami juga disuguhkan lima macam cocolan yang tersedia malam itu, yaitu woku, colo-colo, dabu-dabu, sambal terasi, dan sambal kecap. Total malam itu kami menghabiskan hanya Rp. 160.000 saja untuk tiga orang. Mahal? Tidak juga, kalau kita melihat porsi ikan yang dipesan. Rata-rata berat masing-masing ikan 450 sampai 500 gram. Dan kangkung cah bunga pepayanya, oke punya lagi. Ternyata kenyataan tidak seseram yang kami kira sebelumnya. Perut kenyang, kami pun pulang.<br /><br />Coast to Coast<br /><br />Hari-hari berikutnya kami menyusuri pantai demi pantai yang ada di daerah ini. Dimulai dari pantai yang paling dekat dengan tempat kami menginap, yaitu Base G. Nama unik ini diberikan oleh Jenderal Douglas McArthur pada waktu Perang Dunia Kedua di Front Pasifik melawan Jepang. Sesuai dengan namanya, tempat ini juga merupakan pangkalan utama kekuatan sekutu waktu itu.<br /><br />Pantai ini memiliki pasir yang berwarna putih dengan air laut yang masih jernih berwarna biru kehijauan. Di sini kita bebas untuk main air, berenang, atau hanya sekedar duduk sambil menikmati terpaan angin laut dan pemandangan yang indah. Aksesnya pun mudah karena masih dapat dilewati oleh mobil.<br /><br />O ya, Base G merupakan pantai pertama dari enam rangkaian pantai yang ada di pesisir utara Jayapura. Pantai lainnya diberi nama dengan awalan kata "pasir" dan dimulai dengan Pasir Dua sampai Pasir Enam. Kata guide saya, di Pasir Enam ada air terjun yang langsung menuju ke pantai.<br /><br />Lalu kami menuju Pantai Hamadi, yang juga menjadi saksi bisu sepak terjang McArthur. Berbeda dengan Base G, di sini kita dapat menemukan lebih banyak lagi bukti-bukti sejarah Perang Dunia Dua. Bangkai-bangkai tank dan kapal pendarat masih ada, dan kini mereka menjadi tempat bermain atau tempat duduk-duduk warga sekitar. Di site pendaratan sekutu besar-besaran, kita dapat melihat ada orang berjalan diatas air. Bukan karena mereka memiliki ilmu tertentu, tetapi ditengah-tengah pantai ada landasan untuk menurunkan personil dari kapal perang.<br /><br />Lebih ke timur lagi kita akan bertemu dengan Holtekamp. Pantai yang satu ini memang tempatnya agak jauh dari Jayapura. Selain letak, perbedaan lainnya adalah pantai ini berpasir hitam. Hanya menambah waktu perjalanan saja selama kira-kira 45 menit saja, kita sudah sampai di Wutung dan berhadapan dengan negara tetangga, Papua Nugini. Masih ada satu tempat lagi yang sempat kami kunjungi waktu pergi sisi timur ini. Letaknya yang agak tesembunyi di dalam perkampungan membuat tidak semua orang mengetahui keberadaannya. Skow Sae berbeda dengan pantai-pantai sebelumnya, ia memiliki ombak yang lebih besar daripada yang lainnya. Suasana di sini rasanya agak misterius karena kehadiran batang-batang pohon yang telah mati diatas pasir yang berwarna hitam. Tak jauh dari pantai ada sebuah Tangfa, atau rumah adat suku Skow yang digunakan untuk keperluan sosial masyarakat sana.<br /><br />Pol Temeyawe<br /><br />Tidak hanya di bagian timur yang memiliki banyak pantai. Bagian barat juga memiliki koleksi pantai-pantai yang tidak kalah dengan sisi yang satunya. Cukup dengan satu setengah jam perjalanan darat dari Jayapura ke Depapre di Teluk Tanjung Tanah Merah. Dari situ kita bisa menyewa perahu untuk mengunjungi pantai-pantai yang eksotis.<br /><br />Umumnya pantai-pantai yang ada di sini memiliki garis pantai yang lebih pendek dan memiliki pasir putih. Hanya ada satu pantai, Tabla Nusu, yang hanya memilki pantai bukan dari pasir tetapi batu kerikil. Selain itu, penduduk desa ini juga dapat mengetahui siapa yang sedang berjalan dari bunyi kerikil yang dipijak kaki seseorang. Dan orang sini juga dapat menikmati pijat refleksi sepanjang hari selama hidupnya.<br /><br />Di seberang Tabla Nusu, ada kampung Tabla Supa. Kampung ini tidak berada di atas tanah seperti pada umumnya, tetapi di atas air dengan rumah-rumah panggungnya. Mereka membangun tempat tinggalnya dengan menggunakan kayu Suang. Konon kayu jenis ini tahan terhadap air laut selama puluhan tahun.<br /><br />Tidak jauh dari Tabla Supa kita akan bertemu pantai Amay dan Pantai Arlene yang memiliki kolam air tawar. Terutama pantai yang kedua, di sana jarak kolam air tawar dengan pantai sekitar 10 meter saja. Tetapi air di kolam yang mirip dengan oasis di padang pasir ini tidak terpengaruh oleh garam, justru sebaliknya dapat langsung diminum dan rasanya sangat segar.<br /><br />Di sebelah Pantai Arlene, ada sebuah tanjung yang penuh dengan bonsai alam. Pohon-pohon pinus yang hidup di sana tumbuh di atas batu-batuan dan rata-rata tinggi pohonnya kira-kira satu meter. Kami sempat mendarat di pantai kecilnya untuk melihat secara langsung bonsai-bonsai. Pasir putih mengisi sebagian pantainya dan sebagian lagi berisi batu-batu alam yang berukuran mulai dari kepalan tangan sampai kepala orang dewasa. Entah dari mana asalnya batu-batu itu. Bicara tentang bonsai, di tengah perjalanan kami melihat sebatang pohon yang benar-benar tumbuh diatas pulau batu selama puluhan tahun. Bentuknya unik dan estetis.<br /><br />Tanjung Tanah merah merupakan tempat pendaratan pasukan McArthur yang pertama kali. Di salah satu sudut teluk, kita dapat melihat tiang-tiang pancang sisa dermaga yang dibuatnya. Tinggal menambah setengah jam perjalanan lewat darat, kita akan menemui tangki-tangki bahan bakar sisa perang, bahkan sebagian masih ada isinya. Satu peninggalan sejarah lainnya adalah tugu peringatan kedatangan kaum misionaris yang medarat di tanjung ini.<br /><br />Makanan di Jayapura<br />Sebelumnya saya sudah menyingung tentang makanan di kota ini. Anda tidak perlu khawatir akan kesulitan menemukan makanan yang cocok di sini. Seperti kota-kota besar lainnya Jayapura pun di datangi oleh kaum pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedangang, termasuk jualan makanan.<br /><br />Tidak aneh bila kita berjalan-jalan di sini akan melihat para penjual makanan khas daerahnya, seperti Jawa Timur, Makasar, Menado, dan lain sebagainya. Paling banyak adalah warung nasi yang menjual lalapan, kalau di Jawa kita menyebutnya pecel. Lalapan ayam adalah pecel ayam, lalapan mujair adalah pecel mujair, dan seterusnya.<br /><br />Untuk chinese food, kita bisa pergi ke Restoran Bintang Laut di Jalan Raya Entrop. Di resto ini kita dapat menikmati berbagai makanan a la cina yang halal. Udang Telur Asin, Udang Loncat, Ayam Ginseng, Ayam Teratai, dan Kakap Asam-manis adalah sebagian menu-menunya. Yang menarik perhatian saya adalah Udang Loncat dengan presentasinya yang unik dan Ayam Ginseng yang sangat menyegarkan badan yang sedang kelelahan.<br /><br />Kami sempat menginap di hotel tertua di Papua, Hotel Matoa. Letaknya yang strategis di pusat kota, memudahkan kami untuk bereksplorasi tentang makanan di kota ini. Ada satu kafe yang sangat kesohor di sana, yaitu Prima Café. Mereka menawarkan kue-kue dan yang menjadi ciri khas mereka adalah Lapis Legit Kopi dan kopi yang di datangkan langsung dari Wamena.<br /><br />Di tepi Danau Sentani juga ada restoran dengan konsep semi terbuka, jadi kita dapat menikmati makanan khas Danau Sentani dan sekaligus pemandangannya yang indah. Menu Andalan mereka adalah Papeda Ikan Kuah Kuning, Ikan Malas Rica-Rica, Mujair Woku Belanga, Mujair Goreng Kering yang crispy, dan Jus Terong Belanda. Kalau kita ingin jalan-jalan di danau naik perahu, mereka juga bisa memfasilitasinya. Asyik kan? Restoran ini bernama Yougwa Restaurant. Yang lebih Asyik lagi, kita tidak perlu jauh-jauh ke Danau Sentani kalau ingin mencoba kelezatannya. Resto ini juga buka cabang di kawasan Kelapa Gading, tepatnya di Boulevard Raya No. WA-31.<br /><br />Makan pinang memang mengasyikan tapi masalahnya perlu waktu yang cukup agar dapat makan buah ini dengan baik dan benar. Selain itu kita cukup direpotkan, karena harus membuang ludah pinang yang berwarna merah. Di Swiss-belhotel, kita bisa menikmati buah ini dengan cara alternatif. Namanya Pinang Bagoyang, buah pinang bersama sirih, dan jeruk nipis di rebus beberapa saat lalu kita minum air rebusannya setelah di campur dengan madu wamena. Selain itu mereka juga mengangkat minuman Jahe Papua, Jus Terong Belanda, dan Senyum Buah Merah – milkshake buah merah.<br /><br />Untuk line makanannya mereka berkreasi dengan cara mempertemukan bahan makanan khas papua dengan gaya masak barat, east meet west lah. Hasilnya adalah Kakap cah Kangkung Sop Buah Merah, Fillet Kakap Merah Goreng dengan Saus Terong Belanda dan Bubur Betatas, Kakap Merah, Bia (kerang) Bumbu Pinang Sirih yang dihidangkan dengan papeda, Selada Sayur Lilin ikan Asar untuk main course. Sedangkan di bagian dessert ada Pie Apel isi Terong Belanda dan Jambu Merah dan Papeda Puding dengan Rasa Jeruk dan Markisa.<br /><br />Makanan dan alam yang sama-sama menunjang membuat kami merasa betah tinggal di sini walau hanya sesaat. Tapi yah, perjalanan kami nampaknya harus selesai sampai di sini. Tapi jika ada waktu dan kalau memang jodoh, Papua akan selalu menjadi tujuan kami. Papua bukan saja Jayapura, masih banyak daerah-daerah lainnya yang sudah tentu menyimpan eksotismenya sendiri-sendiri.<br />Sumber:Apptite Journey.com, 10-Oct-2007<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-31997644667435636402009-08-25T12:12:00.002+09:002009-08-25T13:25:30.672+09:00Kebudayaan Papua Hadapi Masalah PewarisanTEMPO Interaktif, Jayapura:Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, menyatakan kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. "Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global," katanya saat membuka Festival Adat Papua, kemarin. <span class="fullpost"><br /><br />Selain diikuti 14 kabupaten di Provinsi Papua, festival itu juga diikuti Kabupaten Manokwari yang kini menjadi wilayah Irian Jaya Barat. Festival yang akan berlangsung hingga 11 Agustus ini diikuti oleh 662 orang. <br /><br />Menurut Alex, masih banyak potensi budaya yang belum tergali karena mayoritas penduduk Papua tinggal di kampung-kampung di pedalaman. "Harus dipikirkan, format baru pengembangan budaya yang tak terkikis oleh perkembangan zaman," katanya. <br /><br />Menurut Ketua Panitia, Septinus Rumaseb, festival ini berisi seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua. "Ada juga pameran makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional," katanya. <br /><br />Dalam festival ini, sejumlah penari lengkap dengan ikat kepala, bertelanjang dada dan mengenakan rok rumbai-rumbai menyambut para tamu menuju lokasi festival, Taman Budaya Kota Jayapura. Para tamu dan peserta juga mengikuti upacara mengunyah pinang. Pinang merupakan lambang perdamaian di Papua. PRAMONO <br /><br />Sumber: Tempointeraktif.com<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-46234298393927379982009-08-21T18:41:00.007+09:002009-08-25T15:47:53.582+09:00Mumi WamenaPace, Mace dorang, kalo ke Wamena tu dingin terasa menusuk tulang, baru....kabut tebal masih sering menyelimuti hingga jam delapan pagi, begitu suda Wamena.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Kalo bilang mumi, pasti tong pikir tu Mesir, tapi kalo yang su tau, dong langsung ingat mumi di Wamena.<br /><br />Betul skali, mumi tu ternyata bukan hanya ada di Mesir, tapi di Wamena juga ada eeee.... Di daerah pegunungan tengah khususnya Wamena, Yali, dan Ngalum dorang menyimpan sejumlah mumi yang umurnya sudah ratusan tahun.<br /><br />Dalam dorang pu adat, orang penting macam kepala suku yang hebat, panglima perang meninggal jazadnya tidak dikuburkan, tetapi dong bikin jadi mumi dengan upacara adat, yang berlangsung selama 40 hari.<br /><br />Upacara ini dong bikin di dalam halaman sili, dong pu kompleks perumahan dan dong juga harus di depan pilamo atau honai laki-laki.<br /><br />Selama ini yang dorang biasa kasi lihat ada dua mumi, yaitu mumi Werupak Elosak di Desa Aikima, dan Wimontok Mabel di Desa Yiwika, keduanya berada di Distrik Kurulu.<br /><br />Di Wamena masih ada beberapa mumi lagi, tapi orang lain tra bole lihat, dong takut dengan adat jadi....<br /><br />Dorang bilang mumi yang lain itu ada tiga di Kurulu, Assologaima satu dan dua sebelah barat kota Wamena.<br /><br />Untuk mengunjungi mumi Werupak Elosak yang berada di Kurulu su bisa pake mobil sampe ke mumi pu tempat.<br /><br />Dorang bilang Werupak Elosak dulu tu panglima perang yang gagah berani, untuk menghormati jasa kepahlawanannya, dorang bikin dia jadi mumi.<br /><br />Selain itu, dorang juga bilang sebelum meninggal, Werupak dia yang minta supaya mayatnya dong bikin jadi mumi.<br /><br />Pace, Mace dorang... sampe sekarang ramuan untuk buat mumi tu, dorang di kampung situ saja yang tau, itu jadi dong pu rahasia.<br /><br />Tapi ada yang bilang, dorang bikin mumi hanya dengan cara pengasapan selama ± 3 bulan terus-menerus, disertai dengan upacara adat yang sakral.<br /><br />Setelah mumi jadi, perawatan selanjutnya ditangani kaum laki-laki saja, dan di simpan dalam honai laki-laki.<br /><br />Menurut cerita Werupak Elosak dia suda punya enam garis keturunan, jadi ... Kalo kitorang hitung sampe sekarang, dia pu umur su kira-kira 325 tahun.(AnTaH)<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-48183089656876970952009-08-20T19:04:00.005+09:002010-04-09T23:31:28.598+09:00PIKON, Alat Musik Tradisional dari WamenaPace, Mace..... Alat musik macam gitar, ukulele, tifa, stem bas pasti dorang su tau tooo.... Alat musik ini kalo di mainkan, mmmm trada yang blok... dorang biasa bilang tu musik akustik Papua.<br /><br />Tong di Papua ni kaya akan berbagai alat musik dari alam, ada yang dorang bikin dari kulit bia (yang biasa di pasang di kaki) ada juga dari kulit bia besar, yang depu nama triton.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Tapi Pace, Maca.... Ada satu alat musik dari Wamena yang dorang bikin dari perdu, namanya pikon. Perdu ini dalam bahasa Wamena dong bilang hite. Hite yang dong pilih untuk buat pikon juga hite yang khusus, karena ada hite yang dong pake untuk buat anak panah.<br /><br />Pace, Mace.... Pikon ini biasa laki-laki yang main saat dorang istiraha setelah waktu bikin kebun ato saat dorang lagi santai di honai.<br /><br />Peniup pikon biasanya menirukan suara mama bujuk bayi, suara orang menyanyi atau bahkan suara burung.<br /><br />Pace, Mace ....alat musik pikon ini menurut Dr Kuntz yang meneliti musik di Papua tahun 1920-an, adalah musik harpa Yahudi kuno.<br /><br />Jadi... itu suda, tong alat musik pikon dari Wamena.(AnTaH)<br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-61963311944520662162009-04-18T23:28:00.007+09:002009-08-21T18:45:14.185+09:00KASI HILANG STRESS DI PANTAI BASE GSetelah penat bekerja...paling enak tuh rame - rame piknik. Kalo di Jayapura tu..Pantai Base G memang terkenal paling indah sudah.<code></code><p><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fulpost"></span><span class="fulpost"><code><span style="color:red;"><div class="fullpost"><span class="fulpost"><code></code></span></div></span></code></span></p><p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_CPEKccYgV9w/Senl5AioJuI/AAAAAAAAAAg/tnHjxAxF0o8/s1600-h/IMG_0383.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 197px; height: 148px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_CPEKccYgV9w/Senl5AioJuI/AAAAAAAAAAg/tnHjxAxF0o8/s320/IMG_0383.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5326040801902864098" border="0" /></a>Duduk duduk di tepi pantai dan menikmati keindahan pantai base g....yummy...paling enak sambil menikmati ikan bakar. Di Jayapura tu...ikan segar memang paling nikmat, ikan cakalang, ekor kuning atau Bubara.</p><p>Setelah menikmati ikan bakar, mandi - mandi dan bermain air memang tidak bisa ditunda lagi, apalagi lautnya yang lumayan tenang, ombak tra besar. asik betul.</p><p>Ale...base g memang andalan.</p><p>Hanya saja di tempat ini, sewa para - para dan parkir cukup mahal. tetapi yah itulah....base g!<span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fulpost"><code></code></span><span class="fulpost"><code></code></span><span class="fulpost"><code></code></span></p>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-35884121380366575302009-04-17T19:43:00.003+09:002009-08-21T18:45:35.863+09:00Percetakan Pertama di Holandia (Jayapura)Holandia atau saat ini kita kenal dengan nama Kota Jayapura. Tabea, sejak tahun 1968 telah berdiri YAYASAN PERCETAKAN GKI DI TANAH PAPUA, yang merupakan Percetakan pertama yang berdiri di Papua dan hingga kini masih tetap eksis.<br /><br />Tujuan awal didirikan Percetakan ini adalah untuk mencetak surat-surat Gerejawi milik GKI di Tanah Papua seperti: Surat Sidi, Surat Baptis dan Surat Nikah. Hingga kini Percetakan tersebut di kelola oleh CV. ANA GRAFIKA.<br /><br />Sejak berdiri tahun 1968 di Holandia, pengerjaan percetakan di kerjakan oleh empat orang karyawan pada saat itu. Penggunaan mesin cetak yang dikirim dari Negara Jerman. Salah satu mesin cetak yang di datangkan pada tahun 1968 yaitu mesin cetak tinggi atau HEIDELBERG.<br /><br />Menurut Alex Deda yang menjabat sebagi Kepala Bagian Produksi Percetakan GKI, khusus untuk surat-surat Gereja (Surat Sidi, Surat Baptis dan Surat Nikah) perharinya dicetak sebanyak dua ribu hingga tiga ribu lembar surat. Saat ini percetakan sedang mencetak surat-surat gereja untuk Provinsi Papua dan Papua Barat.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-31815896273782975042009-04-17T19:15:00.002+09:002009-08-21T18:45:58.551+09:00TABEA. TABEA TABEATABEA, merupakan Bahasa Biak Papua yang biasa digunakan untuk menyampaikan Salam!<br />Dari 325 bahasa asli Papua yang sudah diidentifikasi, Bahasa Biak merupakan bahasa yang relatif lebih mudah di pelajari dan di terima sebagian besar suku yang ada di Papua!<br /><br />Melalui kata "Tabea", kami dari Papua memberikan salam kepada semua pengunjung Blog Tabea PAPUAUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-25913083791907090272009-04-17T02:33:00.000+09:002010-04-30T22:35:55.333+09:00PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA LOKAL PAPUA<div class="post-header"></div><div class="post-body entry-content"><style>
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Wingdings; panose-1:5 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:2; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 268435456 0 0 -2147483648 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} h1 {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; mso-outline-level:1; font-size:24.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-GB; mso-fareast-language:EN-GB; font-weight:bold;} p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter {margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; tab-stops:center 216.0pt right 432.0pt; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} p {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} @page Section1 {size:21.0cm 842.0pt; margin:3.0cm 3.0cm 4.0cm 4.0cm; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:357780678; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:-1665379308 67698709 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-number-format:alpha-upper; mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} @list l1 {mso-list-id:1841391384; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:-129234224 134807567 134807577 134807579 134807567 134807577 134807579 134807567 134807577 134807579;} @list l1:level1 {mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} @list l2 {mso-list-id:2067297362; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:281711586 -907134386 134807555 134807557 134807553 134807555 134807557 134807553 134807555 134807557;} @list l2:level1 {mso-level-start-at:0; mso-level-number-format:bullet; mso-level-text:-; mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt; font-family:Calibri; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman";} ol {margin-bottom:0cm;} ul {margin-bottom:0cm;} -->
</style><b><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></b><b><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></b> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="AMH">A.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span></b><b><span lang="AMH">Pendahuluan<o:p></o:p></span></b></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Dikatakan bahwa sejarah manusia diawali bersama-sama bahasa. Selama ini banyak ahli antropologi yang mendefinisikan bahwa manusia adalah makhluk pencipta alat (homo fabel). Artinya eksistensi alat atau perkakas merupakan tanda-tanda adanya kehidupan (kebudayaan). Akan tetapi, menurut Claude Levi-Strauss seperti dikutip oleh Maruyama (1995:43), anggapan tersebut sekarang sudah lebih disempurnakan.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Dewasa ini, pembatas antara alam dengan kebudayaan bukan lagi didasarkan pada eksistensi sebuah alat, tetapi didasarkan pada bahasa. Dengan kata lain, sebelum membentuk manusia sebagai homo fabel atau homo sapiens (manusia haus ilmu) perlu dibentuk dulu manusia homo loquens (manusia berbahasa). Karena denga bahasa itulah manusia dapat memelihara seluruh kebudayaannya. Kalau pada sifat alat itu tampak adanya suatu tranformasi dari alam kepada kebuyaan, maka bahasalah alat yang paling utama yang diciptakan manusia untuk proses tersebut, dan inilah yang memungkinkan sumber konsep pembuatan seluruh alat-alat.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Bahasa adalah organ physiology yang digunakan secara instingtif dan alami. Hal ini yang membedakan inti bahasa dengan ketika kita menggunakan paru-paru unuk bernafas atau berdiri kemudian berjalan.. Burung beo di rumah saya mampu menirukan kata salam seperti “selamat datang” dan menirukan kata “kamu jelek”. Tetapi Ia tidak bisa membuat kalimat bentuk lampau atau pengandaian.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Sejak kita lahir di alam fana ini sudah dikelilingi oleh bahasa, dibesarkan dengan bahasa, berpikir memakai bahasa, berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa. Karena kelekatan bahasa dengan kehidupan kita, sering kali secara refleksi bahasa tidak dipikirkan. Dalam keadaan seperti ini, kadang-kadang kita dibuat jengkel karena tidak mampu memahami komunikasi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa yang sama. Termasuk seperti contoh penulisan sms yang kadang susah untuk dipahami.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Dari penjelasan di atas dapat diketahui oleh kita bagaimana hakekat bahasa dalam kehidupan manusia. Karena di dalam bahasa tercermin sifat-sifat kebudayaan dan oleh karena itulah, cermin kebudayaan suatu bangsa ada di dalam bahasa bangsa tersebut.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Pada wilayah pulau yang dulunya disebut Pulau Irian Jaya, terdapat berbagai bahasa dan budaya yang terbanyak di Indonesia. Suku Bangsa Papua yang memiliki wilayah yang terbentang pada 2 Propinsi yaitu Papua dan Papua Barat dengan berbagai suku. Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut di antaranya:<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Ansus<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Amungme<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Asmat<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Ayamaru, mendiami daerah Sorong<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Bauzi<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Biak<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Dani<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Iha<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Kamoro<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Meyakh, mendiami Kota Manokwari<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Moskona, mendiami daerah Merdei<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Nafri<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Sentani, mendiami sekitar danau Sentani<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Waropen<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Wamesa<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Muyu<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Tobati<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Enggros<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Korowai<o:p></o:p></span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH">• Fuyu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Di samping memiliki kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Papua juga dikenal dengan keberagaman budayanya dan bahasanya. Belum lagi di tambah pendatang yang banyak berasal dari Suku Jawa dan Bugis-Makassar. Sehingga dalam pembelajaran bahasa daerah di sekolah ditiap-tiap daerah suku pun berbeda. Tidak ada dominasi budaya suatu suku ke suku yang lainnya secra frontal dan terbuka luas. Namun dapat dibayangkan dampak dari konflik yang terjadi dimana potensi konflik sangat beragam dapat terjadi mulai dari ucapan kata-kata, maupun perbuatan maupun adat kebiasaan yang dapat ditanggapi berbeda-beda oleh tiap individu yang berbeda suku.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH">B.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><b><span lang="AMH">Essensialisme sebagai akar kekerasan</span></b><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Gejala sosio-kultural tidak pernah muncul karena penyebab tunggal. Konflik dan gejala kekerasan hari-hari ini memang bisa muncul dari ketidakberdayaan akibat struktur politik-ekonomi dan kultural yang telah demikian opressif, yang "sudah tak menyisakan kata-kata untuk saling memahami lagi". Semacam reaksi perlawanan balik atas penyebab eksternal. Tapi konflik dan kekerasan sebenarnya bisa pula dipicu oleh tendensi internal juga, yakni oleh kerangka berpikir ontologis tertentu. <o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Kerangka berpikir yang terlampau essensialistik atau substansialistik, yang cenderung melihat identitas, kebudayaan, dan tradisi sebagai suatu substansi utuh dengan essensi yang tetap, misalnya, mudah sekali mengakibatkan orang menilai interaksi budaya yang saling memengaruhi sebagai bahaya dan ancaman perusakan atas kemurnian, yang pada gilirannya mudah melahirkan kekerasan. Apalagi bila semua itu dilegitimasi dengan absolutisme transendental. <o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: left; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Terhadap kerangka berpikir macam itu makalah ini mengandaikan, sekaligus menawarkan, kerangka berpikir yang bersifat "relasional". Artinya, identitas dan kebudayaan papua adalah sebuah proses yang berkembang terus melalui proses interaksi timbal-balik semua dengan semua budaya yang ada di papua. Identitas adalah sesuatu yang senantiasa "menjadi", melalui segala bentuk relasi dengan yang lain di luarnya, dan dalam berbagai konteks yang berubah. <o:p></o:p> </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: left; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Bahwasanya dalam konteks tertentu relasi itu ternyata hegemonik, itu tidak mesti menunjukkan bahwa setiap relasi dan setiap artikulasi identitas budaya niscaya berkecenderungan hegemonik, seolah tak ada kemungkinan lain. Relasionalitas bisa bersifat macam-macam. <o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Sejarah di masa lampau menunjukkan banyak juga transaksi budaya yang tidak disertai konflik, banyak proses artikulasi dan asimilasi identitas yang sinkretis, alamiah dan wajar tanpa disertai kekerasan. Sering kali unsur-unsur budaya luar dipinjam atau diadopsi karena memang dianggap lebih bernilai, menguntungkan atau bahkan membantu artikulasi budaya papua secara lebih memadai. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Tentu saja orang bisa mengatakan bahwa kini situasinya lain, bahwa dominasi kekuasaan pihak suku yang lebih berkuasa menjalankan penindasannya justru secara persuasif dan tak disadari: dengan menciptakan struktur keinginan dan kebutuhan, dengan pembentukan citra identitas versi mereka, dan dengan penyebaran pemetaan teoretis ala mereka-yang dengan pretensi deskriptif ilmiah, diam-diam sesungguhnya selalu mendudukan mereka sendiri pada klasifikasi superior, yang lain inferior, dst dst. Dan itulah persis cara kerja "hegemoni", penindasan yang seolah dilakukan ’dari dalam’ diri sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Masalahnya, ada beberapa kelemahan dari teori Hegemoni macam itu. Pertama, ia mengandaikan seolah pengaruh pihak suku yang berkuasa terhadap suku yang kecil itu demikian linear dan terprediksi, dan seolah pihak korban sedemikian teralienasi dari dirinya sendiri hingga total menjadi sekadar mesin fotokopi. </span><span lang="FI">Bagaimana pun fenomena kebudayaan adalah transaksi makna dan nilai, di dalamnya reflektivitas individu tidak hanya me-reproduksi pola-pola dari luar, melainkan sekaligus juga menciptanya ulang sesuai kepentingan partikularnya sendiri (mekanisme autopoiesis). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="FI">Simbol dan ikon boleh menyebar di pasar dunia, tapi bagaimana itu dimaknai bisa tidak sama, mudah mengalami de-territorialisasi, berubah menjadi parodi, subversi, aksesori, dst. Tak usah heran bila huruf "M" ala MTV di Papua menjadi simbol gerakan kemerdekaan ("M" = Merdeka !), atau kata ”padamkan lampu” di papua lebih dikenal dengan ”bunuh lampu” ataupun beberapa istilah asli bahasa papua yang belum di mengerti oleh orang lain. Bila istilah tersebut dilihat dan di dengar oleh pendatang di Papua tentu agak terhera-heran bila belum mengerti maknanya sebenarnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="FI"> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><b><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><b><span lang="AMH">C.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span></b><b><span lang="AMH">Visioning dan Pencegahan Konflik Budaya Lokal <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Fenomena bahwa Papua akan kalah bersaing di pasar nasional jika mengandalkan budaya, bahasa dan produk lokal merupakan hal yang kurang tepat. Konteksnya bukan karena Bangsa Papua merupakan bangsa yang minder dalam bidang pergaulan budaya, akan tetapi lebih disebabkan karena masyarakat Papua harus lebih fokus dalam mempertahankan Budaya dan bahasa serta mengembangkan produk lokal unggulannya berupa produk-produk berbasis pengetahuan dan seni tradisional serta produk-produk yang bersumber pada keanekaragaman hayati Papua. Kesadaran ini jelas merupakan visi yang maju serta <i><span style="font-family: Calibri;">competitive </span></i>dibandingkan dengan produk budaya masyarakat lainnya karena memiliki karakter yang jelas dan tidak dimiliki oleh budaya lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Sekurang-kurangnya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru masyarakat papua. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">-<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Pertama, Papua tidak akan kekurangan bahan baku, karena bahan bakunya melimpah, baik berupa sumber daya manusia (<i><span style="font-family: Calibri;">culture and tradition</span></i>) maupun sumber daya lainnya (terutama <i><span style="font-family: Calibri;">genetic resources and biodiversity</span></i>). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">-<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Kedua, pengembangan produk berbasis warisan budaya seperti <i>tarian</i> atau <i>souvenir </i>dan<i> lainnya</i>, justru akan menghidupkan kembali jati diri bangsa papua yang sempat terdistorsi dengan mitos-mitos budaya pop, seperti <i><span style="font-family: Calibri;">Superman, Spiderman, Mickey Mouse, </span></i>dan<i><span style="font-family: Calibri;"> Donald Duck</span></i> atau yang lokal nusantara seperti <i>Tari Jaipong, Pisang Goreng Kalimantan, Replika Kapal Pinishi.</i> </span><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">-<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Ketiga, partisipasi masyarakat diharapkan akan menjangkau daerah-daerah suku-suku yang terpencil dari kota karena sebagian terbesar pelaku budaya justru berdomisili di daerah-daerah, di pusat-pusat kebudayaan itu sendiri. </span><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">-<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Keempat, jika pusat-pusat kebudayaan semakin terangsang untuk bangun, menggeliat dan bergairah dalam mengembangkan khasanah warisan budaya di daerah-daerah tersebut, pada gilirannya akselerasi ekonomi berbasis pengetahuan tradisional dan seni dapat membantu peningkatan kesejahteraan ekonomi dari kelompok masyarakat para pemangku dan pelaku tradisi yang bersangkutan.</span><span lang="AMH"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Pulau Papua adalah pulau dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi masyarakat papua justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Konsep ini yang dikembangkan oleh negara-negara yang memiliki budaya pariwisata. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Dalam konteks inilah peran pengembangan pendidikan dan kebijakan pemerintah daerah baik Kabupaten maupun Propinsi Papua, yang menjadi sangat penting, agar pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru tidak mengabaikan atau mengalienasi hak-hak masyarakat pendukungnya. Peran pengembangan pendidikan menjadi sangat penting dalam pemanfaatan warisan budaya agar tidak terjerumus ke dalam pusaran kerakusan kapital yang sangat pandai mencari peluang. Peranan tersebut melalui pendidikan dan latihan kerja serta sosialisasi kepada masyarakat untuk perbaikan usaha.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">Begitu juga dengan peran kebijakan pemerintah daerah, yang mengatur pengembangan budayanya agar tidak menimbulkan konflik diantara masyarakat papau yang terdiri dari berbagai suku. Diantaranya melalui kebijakan terhadap masyarakat adat papua, pemberdayaan dewan adat serta Majelis Rakyat Papua. Dengan pengaturan tersebut maka persoalan perang suku, pemekaran daerah serta pengaturan antara suku pribumi dan pendatang tidak dapat dimasukan dalam persoalan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Untuk itu perlunya diperkuat dan dilengkapi dengan penetapan kebijakan pendukung oleh pemerintah daerah di wilayah Papua secara bersama seperti:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH">1.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH">Pembinaan keluarga yang sehat dan produktif <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">2.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="AMH">Pengembangan kemitraan antar Suku</span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">3.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="SV">Pengembangan Kreativitas Seni dan Budaya Populis serta original</span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">4.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="SV">Sosialisasi keunggulan budaya </span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;">5.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span><span lang="FI">Penataan Saluran Informasi dan Komunikasi masyarakat</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><b><span lang="AMH">D.<span style="font-family: "; font-size: 7;"> </span></span></b><b><span lang="AMH">Penutup <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH">Meskipun Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, Namun bagi pemerintah daerah Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah Papua. Kebijakan pemberdayaan budaya lokal memberikan dasar yang kuat bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Hanya saja, perlu dipertegas tentang luas serta jenis hak dan budaya lokal masyarakat asli yang lebih terperinci yang tampaknya harus dipersiapkan dan dikembangkan. Apa dan siapa orang asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam peraturan daerah pada tiap pemerintah daerah di wilayah papua. Dengan begitu, perlindungan budaya masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi perlindungan budaya, adat dan hak-hak mereka.</span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="AMH" style="color: black; font-family: Calibri;">Kiranya, gagasan untuk mengoptimalkan warisan budaya lokal papua juga sebagai alternatif <span style="letter-spacing: -0.05pt;">sumber ekonomi di Papua yang dapat menghasilkan berbagai manfaat jika </span><span style="letter-spacing: -0.2pt;">dikelola dengan benar, dengan menerapkan kebijakan yang juga benar dan </span>tepat. <i><span style="font-family: Calibri;">Benar </span></i>di sini berarti bahwa kebijakan itu benar-benar merupakan <span style="letter-spacing: -0.2pt;">pendukung dan bukan justru menjadi penghambat dalam mewujudkan gagasan pengembangan budaya papua</span><span style="letter-spacing: -0.25pt;">. <i><span style="font-family: Calibri;">Tepat </span></i>di sini berarti bahwa gagasan pengebangan budaya itu dapat dipahami dengan mudah oleh warga masyarakatnya karena sesuai dengan sistem nilai, pandangan, sikap, </span><span style="letter-spacing: -0.15pt;">dan perilaku warga masyarakatnya, serta mampu memberikan peluang kepada </span><span style="letter-spacing: -0.3pt;">mereka untuk ikut berpartisipasi mewujudkan idea pemanfaatan warisan budaya </span><span style="letter-spacing: -0.45pt;">sebagai alternatif sumber ekonomi yang baru</span></span><span lang="AMH" style="font-family: Calibri;"><o:p></o:p></span>.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b><span lang="AMH">DAFTAR REFERENSI<o:p></o:p></span></b></div><div></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH">I Made Bandem, 2003, </span><span lang="SV">Dimensi Budaya dalam Situasi Konflik, makalah, http://www.wahanakebangsaan.org<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH">John Herf, 2007, Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Bangsa, makalah http://johnherf.wordpress.com<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH">Nancy Bonvillain. (1993) <i>Laguage, Culture, and Communication ~The meaning of Messeges~</i>. Pearson Education LTD. London.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH">Neubert, Albert.(1985) <i>Translation Across Language or Across Culture? dalam Scientific and Humanistic Dimension of Language. </i>Kurt R. ed.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH">Strinati, Dominic (1995), <i>An Introduction to Theories of Popular Culture</i>, Routledge, London.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="AMH"><o:p> </o:p></span></div><div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: left; text-indent: -36pt;"><span lang="SV">Victor Mambor,2008, Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Papua; “Nilai Dasar Yang Mati dalam Sebuah Undang-Undang” http://victormambor.wordpress.com</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6157323457402961010.post-25180197834464286142007-08-08T23:55:00.000+09:002010-04-09T23:58:20.434+09:00Kebudayaan Papua Hadapi Masalah Pewarisan<span style="font-family:Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;"><span style="color:#666666;"><b>TEMPO <i>Interaktif</i></b></span>, <span style="color:#666666;"><b>Jayapura</b></span>:Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, menyatakan kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. "Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global," katanya saat membuka Festival Adat Papua, kemarin.<br /><br />Selain diikuti 14 kabupaten di Provinsi Papua, festival itu juga diikuti Kabupaten Manokwari yang kini menjadi wilayah Irian Jaya Barat. Festival yang akan berlangsung hingga 11 Agustus ini diikuti oleh 662 orang.<br /><br />Menurut Alex, masih banyak potensi budaya yang belum tergali karena mayoritas penduduk Papua tinggal di kampung-kampung di pedalaman. "Harus dipikirkan, format baru pengembangan budaya yang tak terkikis oleh perkembangan zaman," katanya.<br /><br />Menurut Ketua Panitia, Septinus Rumaseb, festival ini berisi seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua. "Ada juga pameran makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional," katanya.<br /><br />Dalam festival ini, sejumlah penari lengkap dengan ikat kepala, bertelanjang dada dan mengenakan rok rumbai-rumbai menyambut para tamu menuju lokasi festival, Taman Budaya Kota Jayapura. Para tamu dan peserta juga mengikuti upacara mengunyah pinang. Pinang merupakan lambang perdamaian di Papua. (PRAMONO)<br /><br /></span><span class="fullpost">Sumber: http://www.tempo.co.id/hg/nusa/papua/2007/08/08/brk,20070808-105134,id.html<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0