Agustus 25, 2009

Jayapura 360.000 Detik

by Appetite Journey

Pantai, budaya, dan sejarah yang kaya membuat tempat ini begitu terlalu menawan untuk dilewatkan, disamping makanannya juga. Dan ini bukan script acara berita di televisi yang cuma 60 detik, tapi 360.000 detik perjalanan di Jayapura.

Kendaraan kami meluncur ke Swiss-belhotel, yang terletak di Dok Dua. Hotel ini terletak tepat di tepi pantai yang tenang, bahkan jika mau kita dapat memancing di sini. Dari restorannya kita dapat melepaskan pandangan kita ke arah teluk yang tenang, di sana ada dua pulau yang ditinggali oleh orang Kayu Pulo dan satu lagi didiami oleh orang Buton. Jangan kaget kalau tiba-tiba kita mendengar suara "klakson" kapal membelah udara atau tiba-tiba bertemu dengan kapal yang lewat di depan mata, karena di seberang hotel ini adalah pelabuhan. Antara Shanghai dan Hongkong

Matahari sudah kembali ke peraduannya di ufuk barat, akan tetapi malam masih panjang. Kami pun terperangkap dalam di dalam dilematis, antara makan malam dahulu baru jalan-jalan kemudian atau sebaliknya. Karena perut masih bisa diajak kompromi, kami memutuskan untuk jalan-jalan di seputar kota ini. Setelah berputar-putar di kota, guide membawa kami ke Jalan Bhayangkara. Tempat ini merupakan dataran tingginya Jayapura dan dari sini kita dapat melihat ke arah kota dan teluk di waktu malam.

Terkejut, terpana, dan kagum. Ya, seperti itulah kira-kira perasaan kami kalau boleh di rangkum dalam kata-kata. Dari titik ini kita dapat melihat bibir pantai yang membujur memberi batas antara laut dan darat. Lampu-lampu kota yang nampak seperti kunang-kunang dan perairan yang tenang memantulkan mereka dengan jelas. Langit malam yang cerah juga tidak mau kalah, dia memamerkan bintang-bintang yang bertaburan dan berkelip dengan malu-malu.

Rupanya perut sudah tidak dapat dinego lagi. Kali ini makan adalah harga mati untuk kami. Sebelum sampai di kota ini, ada sedikit kekhawatiran akan makanan seperti apa yang dapat kami temukan di sini dan ditambah gosip makanan di sini mahal-mahal, walaupun itu kelas kaki lima. Tetapi semuanya sirna ketika kami datang dan membuktikan sendiri kebenarannya.

Makan malam pertama di Papua, dimulai di sebuah warung tenda yang kurang lebih berada 500 meter dari Swiss-belhotel, Cirita Café. Makanan yang disediakan adalah seafood segar dan masakan Manado. Kami memesan ikan kakap merah, mubara, dan baronang bakar dan seporsi kangkung cah bunga pepaya. Sebagai teman makan ikan, kami juga disuguhkan lima macam cocolan yang tersedia malam itu, yaitu woku, colo-colo, dabu-dabu, sambal terasi, dan sambal kecap. Total malam itu kami menghabiskan hanya Rp. 160.000 saja untuk tiga orang. Mahal? Tidak juga, kalau kita melihat porsi ikan yang dipesan. Rata-rata berat masing-masing ikan 450 sampai 500 gram. Dan kangkung cah bunga pepayanya, oke punya lagi. Ternyata kenyataan tidak seseram yang kami kira sebelumnya. Perut kenyang, kami pun pulang.

Coast to Coast

Hari-hari berikutnya kami menyusuri pantai demi pantai yang ada di daerah ini. Dimulai dari pantai yang paling dekat dengan tempat kami menginap, yaitu Base G. Nama unik ini diberikan oleh Jenderal Douglas McArthur pada waktu Perang Dunia Kedua di Front Pasifik melawan Jepang. Sesuai dengan namanya, tempat ini juga merupakan pangkalan utama kekuatan sekutu waktu itu.

Pantai ini memiliki pasir yang berwarna putih dengan air laut yang masih jernih berwarna biru kehijauan. Di sini kita bebas untuk main air, berenang, atau hanya sekedar duduk sambil menikmati terpaan angin laut dan pemandangan yang indah. Aksesnya pun mudah karena masih dapat dilewati oleh mobil.

O ya, Base G merupakan pantai pertama dari enam rangkaian pantai yang ada di pesisir utara Jayapura. Pantai lainnya diberi nama dengan awalan kata "pasir" dan dimulai dengan Pasir Dua sampai Pasir Enam. Kata guide saya, di Pasir Enam ada air terjun yang langsung menuju ke pantai.

Lalu kami menuju Pantai Hamadi, yang juga menjadi saksi bisu sepak terjang McArthur. Berbeda dengan Base G, di sini kita dapat menemukan lebih banyak lagi bukti-bukti sejarah Perang Dunia Dua. Bangkai-bangkai tank dan kapal pendarat masih ada, dan kini mereka menjadi tempat bermain atau tempat duduk-duduk warga sekitar. Di site pendaratan sekutu besar-besaran, kita dapat melihat ada orang berjalan diatas air. Bukan karena mereka memiliki ilmu tertentu, tetapi ditengah-tengah pantai ada landasan untuk menurunkan personil dari kapal perang.

Lebih ke timur lagi kita akan bertemu dengan Holtekamp. Pantai yang satu ini memang tempatnya agak jauh dari Jayapura. Selain letak, perbedaan lainnya adalah pantai ini berpasir hitam. Hanya menambah waktu perjalanan saja selama kira-kira 45 menit saja, kita sudah sampai di Wutung dan berhadapan dengan negara tetangga, Papua Nugini. Masih ada satu tempat lagi yang sempat kami kunjungi waktu pergi sisi timur ini. Letaknya yang agak tesembunyi di dalam perkampungan membuat tidak semua orang mengetahui keberadaannya. Skow Sae berbeda dengan pantai-pantai sebelumnya, ia memiliki ombak yang lebih besar daripada yang lainnya. Suasana di sini rasanya agak misterius karena kehadiran batang-batang pohon yang telah mati diatas pasir yang berwarna hitam. Tak jauh dari pantai ada sebuah Tangfa, atau rumah adat suku Skow yang digunakan untuk keperluan sosial masyarakat sana.

Pol Temeyawe

Tidak hanya di bagian timur yang memiliki banyak pantai. Bagian barat juga memiliki koleksi pantai-pantai yang tidak kalah dengan sisi yang satunya. Cukup dengan satu setengah jam perjalanan darat dari Jayapura ke Depapre di Teluk Tanjung Tanah Merah. Dari situ kita bisa menyewa perahu untuk mengunjungi pantai-pantai yang eksotis.

Umumnya pantai-pantai yang ada di sini memiliki garis pantai yang lebih pendek dan memiliki pasir putih. Hanya ada satu pantai, Tabla Nusu, yang hanya memilki pantai bukan dari pasir tetapi batu kerikil. Selain itu, penduduk desa ini juga dapat mengetahui siapa yang sedang berjalan dari bunyi kerikil yang dipijak kaki seseorang. Dan orang sini juga dapat menikmati pijat refleksi sepanjang hari selama hidupnya.

Di seberang Tabla Nusu, ada kampung Tabla Supa. Kampung ini tidak berada di atas tanah seperti pada umumnya, tetapi di atas air dengan rumah-rumah panggungnya. Mereka membangun tempat tinggalnya dengan menggunakan kayu Suang. Konon kayu jenis ini tahan terhadap air laut selama puluhan tahun.

Tidak jauh dari Tabla Supa kita akan bertemu pantai Amay dan Pantai Arlene yang memiliki kolam air tawar. Terutama pantai yang kedua, di sana jarak kolam air tawar dengan pantai sekitar 10 meter saja. Tetapi air di kolam yang mirip dengan oasis di padang pasir ini tidak terpengaruh oleh garam, justru sebaliknya dapat langsung diminum dan rasanya sangat segar.

Di sebelah Pantai Arlene, ada sebuah tanjung yang penuh dengan bonsai alam. Pohon-pohon pinus yang hidup di sana tumbuh di atas batu-batuan dan rata-rata tinggi pohonnya kira-kira satu meter. Kami sempat mendarat di pantai kecilnya untuk melihat secara langsung bonsai-bonsai. Pasir putih mengisi sebagian pantainya dan sebagian lagi berisi batu-batu alam yang berukuran mulai dari kepalan tangan sampai kepala orang dewasa. Entah dari mana asalnya batu-batu itu. Bicara tentang bonsai, di tengah perjalanan kami melihat sebatang pohon yang benar-benar tumbuh diatas pulau batu selama puluhan tahun. Bentuknya unik dan estetis.

Tanjung Tanah merah merupakan tempat pendaratan pasukan McArthur yang pertama kali. Di salah satu sudut teluk, kita dapat melihat tiang-tiang pancang sisa dermaga yang dibuatnya. Tinggal menambah setengah jam perjalanan lewat darat, kita akan menemui tangki-tangki bahan bakar sisa perang, bahkan sebagian masih ada isinya. Satu peninggalan sejarah lainnya adalah tugu peringatan kedatangan kaum misionaris yang medarat di tanjung ini.

Makanan di Jayapura
Sebelumnya saya sudah menyingung tentang makanan di kota ini. Anda tidak perlu khawatir akan kesulitan menemukan makanan yang cocok di sini. Seperti kota-kota besar lainnya Jayapura pun di datangi oleh kaum pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedangang, termasuk jualan makanan.

Tidak aneh bila kita berjalan-jalan di sini akan melihat para penjual makanan khas daerahnya, seperti Jawa Timur, Makasar, Menado, dan lain sebagainya. Paling banyak adalah warung nasi yang menjual lalapan, kalau di Jawa kita menyebutnya pecel. Lalapan ayam adalah pecel ayam, lalapan mujair adalah pecel mujair, dan seterusnya.

Untuk chinese food, kita bisa pergi ke Restoran Bintang Laut di Jalan Raya Entrop. Di resto ini kita dapat menikmati berbagai makanan a la cina yang halal. Udang Telur Asin, Udang Loncat, Ayam Ginseng, Ayam Teratai, dan Kakap Asam-manis adalah sebagian menu-menunya. Yang menarik perhatian saya adalah Udang Loncat dengan presentasinya yang unik dan Ayam Ginseng yang sangat menyegarkan badan yang sedang kelelahan.

Kami sempat menginap di hotel tertua di Papua, Hotel Matoa. Letaknya yang strategis di pusat kota, memudahkan kami untuk bereksplorasi tentang makanan di kota ini. Ada satu kafe yang sangat kesohor di sana, yaitu Prima Café. Mereka menawarkan kue-kue dan yang menjadi ciri khas mereka adalah Lapis Legit Kopi dan kopi yang di datangkan langsung dari Wamena.

Di tepi Danau Sentani juga ada restoran dengan konsep semi terbuka, jadi kita dapat menikmati makanan khas Danau Sentani dan sekaligus pemandangannya yang indah. Menu Andalan mereka adalah Papeda Ikan Kuah Kuning, Ikan Malas Rica-Rica, Mujair Woku Belanga, Mujair Goreng Kering yang crispy, dan Jus Terong Belanda. Kalau kita ingin jalan-jalan di danau naik perahu, mereka juga bisa memfasilitasinya. Asyik kan? Restoran ini bernama Yougwa Restaurant. Yang lebih Asyik lagi, kita tidak perlu jauh-jauh ke Danau Sentani kalau ingin mencoba kelezatannya. Resto ini juga buka cabang di kawasan Kelapa Gading, tepatnya di Boulevard Raya No. WA-31.

Makan pinang memang mengasyikan tapi masalahnya perlu waktu yang cukup agar dapat makan buah ini dengan baik dan benar. Selain itu kita cukup direpotkan, karena harus membuang ludah pinang yang berwarna merah. Di Swiss-belhotel, kita bisa menikmati buah ini dengan cara alternatif. Namanya Pinang Bagoyang, buah pinang bersama sirih, dan jeruk nipis di rebus beberapa saat lalu kita minum air rebusannya setelah di campur dengan madu wamena. Selain itu mereka juga mengangkat minuman Jahe Papua, Jus Terong Belanda, dan Senyum Buah Merah – milkshake buah merah.

Untuk line makanannya mereka berkreasi dengan cara mempertemukan bahan makanan khas papua dengan gaya masak barat, east meet west lah. Hasilnya adalah Kakap cah Kangkung Sop Buah Merah, Fillet Kakap Merah Goreng dengan Saus Terong Belanda dan Bubur Betatas, Kakap Merah, Bia (kerang) Bumbu Pinang Sirih yang dihidangkan dengan papeda, Selada Sayur Lilin ikan Asar untuk main course. Sedangkan di bagian dessert ada Pie Apel isi Terong Belanda dan Jambu Merah dan Papeda Puding dengan Rasa Jeruk dan Markisa.

Makanan dan alam yang sama-sama menunjang membuat kami merasa betah tinggal di sini walau hanya sesaat. Tapi yah, perjalanan kami nampaknya harus selesai sampai di sini. Tapi jika ada waktu dan kalau memang jodoh, Papua akan selalu menjadi tujuan kami. Papua bukan saja Jayapura, masih banyak daerah-daerah lainnya yang sudah tentu menyimpan eksotismenya sendiri-sendiri.
Sumber:Apptite Journey.com, 10-Oct-2007

0 komentar:

Posting Komentar

Trimaksih atas komentarnya

Recommended